15 Okt 2011

Menulis Cerpen

Cerpen adalah salah satu bentuk karya sastra.
Telah Anda ketahui bahwa bahasa yang digunakan dalam karya sastra sering kali berlebihan, artinya kaidah penggunaan struktur kalimatnya menjadi tidak efektif karena kelebihan kata kata. Oleh karena itu, untuk mempermudah Anda dalam memahami kalimat efektif, yang menjadi objek identifikasi adalah teks cerpen.
   
    Berikut ini disajikan kutipan cerpen. Bacalah kutipan cerpen tersebut dengan saksama!

Kutipan Cerpen
       Ketika Ayah meninggalkan tempat permukiman, hanya kulihat punggungnya yang setengah bungkuk.     Kemejanya yang lusuh mengandng banyak lipatan, warnanya buram, dan aku tahu itu bukan miliknya.Ia berjalan tidak terlampau cepat, tetapi jarak antara kami semakin lebar.Semakin terasa bahwa ada bentangan yang segera akan memisahkan kami, Mungkin satu, dua atau bahkan ratusan kilometer
      Sebelum Pergi, kurang lebih sepuluh menit yang lalu, Ayah mengatakan, "Aku percaya, kamu bukan pemuda cengeng. Hampir sebulan kita telah menangis bersama-sama. Itu cukup.Tidak perlu di perpanjang lagi. Kita sudah saling berusaha untuk menemukan ibumu.Juga kedua adik mu. Percayakan itu kepada Tuhan. Mungkin kini tempat mereka lebih lapang di banding kita saat ini. Mungkin tidak ada lagi pikiran yang membebani mereka. Tinggal kita, mau hidup terus atau perlahan-lahan mati,"
      Mata Ayah memandangku lagi. Tidak ada kemarahan dalam kata-katanya.Aku merasakan ucapan Ayah begitu serius, tetapi tidak mengandung tekanan. Ia bicara seperti sedang menceritakan tentang kegiatan sehari-hari. Begitu datar. Tetapi, hatiku terkesiap mendengarnya.
      "Aku akan berangkat pagi ini juga, sebelum orang ramai ke jalan-jalan. Sebelum ibu-ibu antri di kamar mandi umum. Sebelum tampak asap di dapur terbuka itu. Aku percaya, kamu akan sanggup menghadapi hari depanmu sendiri. Aku melihat ototmu yang kuat, badanmu yang sehat, dan terutama perasaanmu yang tabah. Ingat! Jangan pernah menangis lagi."
     Bibirku mendadak gemetar. Seperti ada ribuan kata-kata berkerumun di ujung lidah. Berdesakan ingin meletup, mendorong dinding gigi. Membuat rahangku keras seperti terbuat dari logam. Tetapi, tak ada suara yang sanggup keluar dari mulutku.
     "Aku menulis surat untukmu, karena  kukira kamu tak akan bangun saat subuh. Bacalah setelah matamu tak mampu memandang bayanganku. Sampai suara panggilanmu tak mungkin kudengar lagi." Ditepuk-tepuknya bahuku, seolah -olah aku sendiri berduka dan ia berperan sebagai sang bijak yang berusaha menghiburku. "Maafkan aku jika selama menjadi Ayahmu tak pernah membuatmu bahagia."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar